SINFORAN | Mengucapkan Jazakallahu khairan katsiran a'la ziyaratikum | Baca kisah |
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter

HADITS SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM















BAB 7
HADITS SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM


A. BEBERAPA ISTILAH SEPUTAR HADITS

            Menurut ahli bahasa, al-hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar (berita), dan al-qarib (dekat) (lihat muhammad Ajaj al-khatib, 1971: 20 dan endang soetari Ad, 1984:1). hadits dalam pengertisn al-khabar dapat dijumpai diantaranya dalam surat ath-thur [52] ayat 34, surat al-kahfi [18] ayt 6, dan surat ad-dhuha [93] ayat 11.
            Dalam mengertikan al-hadits secara istilah atau terminologi, antara ulama hadits dan ulama usuhl fiqih terjadi perbedaan pendapat.
Menurut ulama hadits, arti hadits adalah
ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة
            “Sesuatau yang disandarkan kepada nabi shalallahu 'alaihi wasallam, baik berupa perkataan, perbiuatan, taqrir[1] maupun sifat. (mahmud al-thahan, 1985: 15)”.

            Sedangkan ulama ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah
أقواله وأفعاله وتقريرته التي تثبت الحكام
            “Segala perkataan, perbuatan dan taqrir nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang berkaitan dengan penetapamn hukum”.

            As-sunnah dalam pengertian etimologi adalah
السيرة والطريقة المعتادة حسنة كانت أوقبيحة
            “jalan dan cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau yang jelek”. (Nur al-Dinal-Athar,1979:           27
            As-sunnah dalam penegertian etimologi, dapat dilihat dalm Al-Qur'an surat al-Kahfi [18] ayat 55; surat Fathir [35] ayat 43; surat al-Ahzab [33] ayat 38 dan ayat 62. Adapun pengertian as-sunnah  secara istilah (terminologi), seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajaj al-Khatib (1981 : 89), adalah
كل ما أثر عن الرسول صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أوصفة خلقية أو سية أكان ذلك قبل البعثة أم بعدها
            “Segala yang bersumber dari Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan,             taqrir, sifat kahalaqa atau khuluqiyah maupun perjalanan hidupnya seberlu atau sesudah ia diangkat.”
            Al-khabar  secara bahasa berarti an-naba (berita); sedangkan al-atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat asy-syai'). Arti terminologi  al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama, memiliki arti yang sama, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihu Wasalla, Sahabat, dan Tabi'in. Sedangkan menurut ulama khurasan, al-atsar hanya untuk yang mauquf (disandarkan kepada sahabat) dan al-khabar untuk yang marfu' (disandarkan kepada Nabi). Oleh karena itu, baik al-hadits, as-sunnah, al-khabar, maupun al-atsar dilihat dari aspek penyandarannya ada yang marfu', mauquf, dan maqthu' (disandarkan kepada tabi'in).

B. POSISIS DAN FUNGSI HADITS
            Umat islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur'an.  Kesepakatan mereka di dasarkan pada  nash, baik yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Dalam Al-Qur'an umpamanya, disebutkan dalam surat al-Nisa [4] ayat 59, surat al-Maidah [5] ayat 92, dan surat al-Nur [24] ayat 54. Adapun dalil hadits adalah sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau hendak mengutus muadz bin jabal ke yaman. Inti hadits tersebut adalah Nabi bertanya kepada Muadz dalam hal penetapan hukum. Saat itu Mu'adz Menjawab bahwa dia akan menetapkan hukum berdasarkan urutan Al-qur'an, Hadits, dan Ijtihad. Hadits dipergunakan apabila tidak ditemukan ketetapan hukum di dalam Al-qur'an, sedang ijtihad digunakan jika tidak ditemukan ketetapan hukum baik dalam Al-qur'an maupun hadits. Mendengar jawaban mu'adz Nabi Shalalllahu 'alaihi wa salam menepuk bahu mu'adz sebagai tanda persetujuannya. ( Abu Daud bin Sulaiman bin al-Asy'ari al-Sijistani, t.th: 302)
            Menurut T.M. Hasybi ash-Shiddieqi sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad (1994: 111-128) dan Mundzir Suparta (1996: 49-56), dan fathurrahman (1974: 65) fungsi hadits terhadap Al-Qur'an itu sebagai penjelas ( al-bayan ).
            Fathurrahman (1974: 65-68) “tampaknya” menyimpulkan penjelasan serta kategori al-bayan kedalam tiga hal: pertama, hadits berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an. Contohnya, ada kewajiban berpuasa jika melihat melihat bulan (Q.S. Al-Baqarah [2]2: 185) lalu dikuatkan dengan hadits yang disampaikan oleh Abu al-Husain Musim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi (1992: 481) yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallah 'Alaihi wa Sallam bersabda, “berpuasalah jika kamu melihat bulan; dan berbukalah jika melihatnya.”
            Hadits berfungsi merinci dan menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur'an yang mujmal (global) seraya memberikan persyaratan (taqyid) terhadap ayat-ayat yang mutlaq. Di samping itu, iapun berfungsi mengkhususkan (thalkhish) terhadp ayat-ayat yang bersifat umum ('am). Contohnya dalam sabda Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa salam berikut:
صلوا كما رأيتموني أصلي
            “Shalatlah kalian sebagaiman kalian melihat aku shalat.”

            Hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam Al-Qur'an. Contohnya hadits yang menerangkan tidak bolehnya memadu antara bibi dan keponakan.

C. SEJARAH DAN KODIFIKASI HADITS
            Penulisan resmi hadits dalam kitab-kitab hadits, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayyah, yaitu pada zaman Umar bin Abdul 'Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari khalifah Umar bin Abdul 'Aziz kepada para pakar hadits untuk menulisnya.
            Para ulama hadits tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadits. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode (Kafrawi Ridwan dkk., 1994: 42-48; Endang Soetari ad, 1994: 34-61, dan Mundzir Saputra, 1996: 57). Dibawah  ini periodisasi hadits secara garis besar.
            Periode pertama adalah periode dan disebut masa wahyu dan pembentukan ( 'ashr al-wahyu al-takwin ). pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadits, karena disamping adanya rasa takut bercampur antara hadits dan Al-qur'an, juga agar potensi umat islam lebih tercurah kepada Al-Qur'an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan.[2] pada masa ini, para sahabat menerima hadits dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerima secara langsung diantaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian, atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung diantaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi Shalallahu alaihi wa salam. Ciri utama periode ini  ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadits dan menyalinnya secara sendiri-sendiri.
            Periode kedua adalah zaman khulafaur rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadits dan penyelidikan riwayat ( zaman at-tatsabbut wa al-iqlal min ar-riwayah ). pada periode ini para sahabat melakukan periwayatan hadits dengan dua cara : lafdzi dan ma'nawi.  Periwayatan bi al lafdz adalah redaksi hadits yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh Nabi. Adapun periwayatan ma'nawi ialah redaksi hadits yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, akan tetapi subtansinya sama.
            Periode ketiga adalah peyebaran hadits keberbagai wilayah ( zaman intisyar ar-riwayah ila al-amshar ) yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi'in besar. Diantara tokoh-tokoh hadits pada masa ini ialah Sa'id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi'ah di Mekkah, Ibrahim An-Nakha'i di Kufah, Muhammad bin Sirin di Bashrah, Umar bin Abdul 'Aziz di Syam, Yazid bin Habi di Mesir, dan Wahab bin Munabih di Yaman.
            Perode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadits secara resmi ( 'ashr al-kitabat wa at-tadwin). Penulisan bermula pada sejak adanya perintah resmi dari kalifah Umar bin 'Abdul 'Aziz (717-720M) sampai akhir abad kedelapan. Ia menginstruksikan Abu Bakar bin Muhammad bin “amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk menulis hadits. Bunyi instruksinya secara lengkap seperti yang dukutip oleh Muhammad Ajaj al-Khatib (1981: 229), adalah
انظرواحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبوه فإني خفت دروس العلم وذهاب أهله ولاتقبل إلا حديث النبي صلى الله عليه وسلم
            “Perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam, kemudian tulislah! Aku khawatir lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama; dan janganlah engkau terima kecuali hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Salam”.  
            Kitab-kitab hadits terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits Nabi dan fatwa Sahabat, bahkan fatwa Tabi'in, atau hadits marfu', mauquf, dan maqthu' di samping juga hadits palsu.
            Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penuempurnaan ('ashr at-tajrid wa at-tashhih wa at-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 hijriyah. Atau tepatnya, saat dinasti Abbasiah dipegang oleh khalifah al-Ma'mun sampai al-Mu'tadir (201-300 H). Pada masa ini, para ulama mengadakan gerakan penyeleksian penyaringan, dan klasifikasian hadits-hadits, yaitu dengan cara memisahkan hadits marfu' dari hadits mauquf dan maqthu'. Hasil dari gerakan ini adalah dengan munculnya kitab-kitab hadits terkenal yang bisa disebut dengan kutubus sittah, yaitu:
1.        Al-Jami' ash-shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H);
2.        Al-Jami' ash-shahih karya Imam Muslim (204-261 H);
3.        As-Sunan Abu Daud karya Abu Daud (202-275 H);
4.        As-Sunan karya at-Tirmidzi (200-279 H);
5.        As-Sunan karya an-Nasai (215-302 H); dan
6.        As-Sunan karya bin Majah (207-273 H). 
            Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan dan penghimpunan ( 'ash at-tahdzib wa at-tatrtib waal-istidrak waal-jam'u). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh masehi, saat jatuhnya dinasti Abbasiah ketangan Khulagu Khan tahun 656 H/1258 H.
            Ulama-ulama hadits dan kitab-kitab hadits yang masyhur pada periode ini diantaranya ialah sebagai berikut:
1.        Sulaiman bin Ahmad at-Thabari. Kitab karyanya ialah al-Mu'jam al-Kabir, al-Mu'lam al-Ausath, dan al-Mu'jam ash-Shaghiir.
2.        'Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruguthni. Kitab karyanya ialah Sunan al-Daraguthni.
3.        Abu Awanah ya'kub al-Safrayani. Kitabnya ialah Shahih Awanah.
4.        Ibnu Khuzamah Muhammad bin Ishaq yang menulis kitab Shahih Ibnu Khuzamah.
5.        Abu Bakr Ahmad bin Husein Ali al-Baihaqi yang menulis kitab as-Sunan al-Kubra.
6.        Majuddin al-Harrani yang menulis kitab Muntaq al-Akbar.
7.        Asy-Syaukani yang menulis kitab Nail al-Authar sebagai syarah kitab Muntaq al-Akbar.
8.        Al-Munziri yang menulis kitab at-Taqrib wa at-Tahrib.
9.        Ash-Shiddiqi yang menulis kitab Dalil al-Falihin.
10.    Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi yang menulis kitab Riyadh ash-Shalihin.
            Periode ketujuh adalah periode persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan ('ahd asy-syarh wa al-jam'u wa at-takhrij wa al-bahts). Ulama pada periode ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadits sesuai dengan topik pembicaraan.
D. UNSUR-UNSUR HADITS
            Secara umum    hadits mempunyai tiga unsur pokok yaitu sanad, matan, dan rawi. Pemaparan unsur-unsur pokok hadits secara lebih luasa dapat di baca dalam kitab-kitab hadits ('ulum al-hadits). Namun sebagai pengantar sederhana, mari kita perhatikan hadits di bawah ini. 
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال : حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم : ثلاث من كن فيه وجدحلاوة الايمان أن يكون الله  و أن يكون رسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرأ لا يحبه إلا الله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار –  رواه البخاري
Keterangan
1.        Mulai Muhammad sampai dengan Anas disebut sanad.
2.        Mulai tsalatsun sampai an-nar disebut matan.
3.        Al-Bukhari disebut ar-rawi.
4.        Al-Bukhari disebut juga sanad pertama dan rawi terakhir.
            Demikian pengantar singkat mengenai sunnah sebagi sumber ajaran Islam. Bagi umat Islam, kedudukan sunnah sangat penting sebab banyak ayat Al-Qur'an yang tidak dapat dipahami dengan baik dan dapat diamalkan tanpa penjelasan dari Nabi



[1]    Taqrir adalah perbuatan yang dilakukan oleh sahabat di hadapan Nabi Muhammad shalallahu dan beliau mengetahui; Nabi tidak ikut melakukan perbuatan tersebut, juga tidak melarang sahabat melakukannya.
[2]    Tampaknya, larangan penulisan hadits yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam adalah berlaku untuk para sahabat umumnya. Sedangkan orang-orang tertentu, diperbolehkan untuk menuliskan hadits. Hal ini di dasarkan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan seorang sahabat untuk menuliskan hadits yang sengaja ditulis untuk Abi Syah   



Ringkasan dari buku Metodologi Studi Islam, karya Drs. Atang Abd. Hakim, MA., Dr. Jaih Mubarok, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset, cet. x, 2008), 27-39

Ditulis oleh teman seperjuangan:
Harsono hafidzohullahu ta'ala



















0 komentar:

 

Browsing Artikel

Pengikut

Total Tayangan Halaman

sinforan's cbox

Recent Posts

Pingbox

Copyright 2010 Situs Informasi dan Pengetahuan - All Rights Reserved.
Designed by Web2feel.com | Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com | Affordable HTML Templates from Herotemplates.com.