BAB 6
Al-Qur’an Sebagai Sumber Agama Islam
Bagian ini terdiri atas tiga bagian: pertama, fungsi Al-Qur’an; kedua, Al-Qur’an sebagai firman Allah; dan ketiga, 'ulum Al-Qur'an dan tafsir.
A. FUNGSI AL-QUR'AN
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subhi Shaleh, Al-qur'an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata qara'a (fi'il madhi) dengan arti isim al-maf'ul, yaitu maqru' yang artinya dibaca. Allah berfirman:
“ Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaan itu.” (Q.S. Al-qiyamah{75}: 17-18).
Fath Ridwan (1975: 74-75) menerangkan bahwa para ahli tafsir bersilang pendapat menamai penamaan Al-Qur'an. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah nama yang khusus (khas) bagi firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad. Kedua, sebagin ulama lagi menyatakan bahwa Al-Qur'an diambil dari kata qara'in (petunjuk atau indikator) karena ayat-ayat Al-Qur'an satu sama lainnya saling menguatkan dan membenarkan.
Pemberian nama terhadap Al-Qur'an yang begitu banyak tidak disetujui oleh sebagian ulama, antara lain Shubhi Shaleh. Menurutnya pemberian nama yang banyak terhadap Al-Qur'an dinilai berlebihan sehingga terkesan adanya percampuradukan antara nama-nama Al-Qur'an dan sifat-sifatnya. (muhaimin, dkk.,1994:88)
Sebagian nama-nama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan fungsi-fungsi Al-Qur'an. Dari sudut isi atau subtansinya, fungsi Al-Qur'an sebagai tersurat dalam nama-namanya adalah sebagai berikut:
- Al-huda (petunjuk). Dalam Al-Qur'an terdapat tiga kategori tentang posisi Al-Qur'an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum . Allah berfirman:
“ Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu” (Q.S. Al-Baqarah [2]:185).
- Al-furqan (pemisah). Dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil, Allah berfirman:
“ Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)
- As-syifa (obat). Dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagu penyakit-penyakit yang ada dalam dada (mungkin yang dimaksud disini adalah penyakit psikologis). Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada...”(Q.S. Yunus [10]: 57).
- Al-mau'izah (nasihat). Dalam Al-qur'an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang bertaqwa. Allah berfirman, “Al-quran ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” (Q.S. Ali Imran [3]: 138).
Demikian fungsi Al-qur'an yang diambil dari nama-namanya yang difirmankan Allah dalam Al-qur'an.
B. AL-QUR'AN SEBAGAI FIRMAN ALLAH
Ulama' menyebutkan sebagai hakikat Al-qur'an, yaitu bahwa ia merupakan whyu atau kalam Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wasallam. Yang mana isinya penuh dengan ilmu tanpa ada keraguan di dalamnya (Q.S al-baqarah [2]: 2), kecurangan (Q.S. An-naml [27]: 1), pertentangan (Q.S. Al-Nisa [4]: 82), dan kejahilan (Q.S. Al-Syu'ara [26]: 210), juga sebagai penjelmaan dari kebenaran, keseimbangan pemikiran dan karunia. (Q.S. Al-An'am [6]: 155).
Oleh karena itu, mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur'an pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad b, tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur'an pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad b, , tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Allah menantang kepada para penentang Al-Qur'an untuk membuat satu surat yang semisal dengan Al-Qur'an. Allah berfirman”Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolomgmu selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang memang benar.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 23)
Dan Allah menjamin bahwa Al-Qur'an dipelihara dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman, “ Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr [15]: 9)
Demikianlah kedudukan Al-Qur'an Demikianlah kedudukan Al-Qur'an sebagai firman Allah.Berdasarkan subtansinya, Al-quran bukanlah ciptaan Nabi Muhammad; ia dipelihara oleh Allah yang mewahyukannya.
C, ‘ULUMUL QUR’AN DAN TAFSIR
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu, secara periodik, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Proses pewahyuan dengan cara ini memiliki hikmah untuk memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Qur’an tidak hampa sosial, pewahyuan bergantung pada lingkup dan persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Tenggang waktu pewahyuan berlangsung selama kurang lebih 23 tahun, dan terbagi menjadi dua fase. pertama, ketika Nabi Muhammad berada di Kota Mekkah sebelu berhijrah ke Madinah, yaitu selama 13 tahun. kedua, ketika Nabi Muhammad berada di Kota Madinah selama 10 tahun. Pendapat ini umumnya dipegang oleh para ‘ulum al-Qur’an. (Muhaimin dkk.,1994; 89).
M. Quraish Syihab (1995; 35-38) membagi proses pewahyuan melalui pendekatan isi atau kandungan ayat.
Pertama’ periode ketika Nabi Muhammad masih berstatus Nabi, yaitu dengan diterimanya wahyu pertama, surat al-‘Alaq. Status beliau lalu berubah menjadi Rasul dengan tugas menyampaikan ajaran kepada masyarakat, yaitu ketika beliau mendapat wahyu kedua (Q.S al-Muddatsir [74]: 1-2).
Kedua, periode terjadinya pertarungan antara gerakan Islam dan kaum jahiliah yang berlangsung antara 8 sampai 9 tahun. Ayat yang berkaitan dengan ini dapat dilihat dalam Q.S an-Nahl [16] ayat 25, dan juga disebutkan dalam ayat-ayat yang lain.
Ketiga, periode ketika ummat Islam dapat hidup bebas dalam menjalankan ajaran-ajaran agama, yaitu saat Nabi Muhammad berada di Madinah yang berlangsung sekitar 10 tahun.
Menurut M. Quraish Shihab juga (1996; 4), bahwasanya kosakata yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 77.439 kata drngan jumlah huruf sebanyak 323.015. Dari jumlah kata dan huruf tersebut, menurut Abd al-Rahman al-Salami, al-Suyuti, dan al-Lusi yang dikutip oleh Kafrawi Ridwan dkk., jumlah ayatnya secara berturut-turut adalah 6.326 ayat, 6.000 ayat, 6.616 ayat. Perbedaan jumlah ayat disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai masuk tidaknya kalimat basmalah dan fawatih al-suwar kepada bagian dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumlah ayat-ayat tersebut kemudian dibagi menjadi 554 ruku’ yaitu dengan cara menandainya dengan huruf ‘ain di bagian pinggir halaman Al-qur’an, dan berjumlah 30 juz, 114 surat. Ke 14 surat yang ada di dalam Al-Qur’an dilihat dari panjang dan pendeknya, terbagi menjadi empat kelompok, yaitu:
- Al-sab’aal al-tiwal, yaitu tujuh surat yang panjang, terdiri dari surah al-Baqarah, Ali Imran, al-Nisa, al-Maidah, al-A’raf, al-An’am, Yunus.
- Al-mi’un, yaitu surat-surat yang memuat sekitar 100 ayat lebih, seperti surat Hud, surat Yusuf, dan surat Mu’min.
- Al-matsani, yaitu surat-surat yang isinya kurang dari 100 ayat, seperti surat al-Anfal dan surat al-Hijr.
- Al-mufasal, yaitu surat-surat pendek, seperti al-Duha, al-Ikhlas, al-Nas, al-Falaq. (Al-Qur’an dan terjemahannya, t.th: 17)
Adapun cara Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad adalah melalui beberapa cara sebagai berikut.
1. Malaikat memasukkan wahyu kepada Nabi Muhammad.
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad berupa seorang laki-laki.
3. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad dalam rupanya yang asli.
4. Wahyu datang kepada Nabi Muhammad seperti gemerincingnya lonceng.
Pada zaman Abu Bakar, para penghafal dan penulis wahyu banyak yang gugur di medan perang melawan musuh Islam, terutama pada perang Yamamah. Oleh karena itu, atas usul Umar bin Khathab, ayat-ayat yang masih berceceran pada benda-benda tersebut dihimpun dalam mushaf. Tim penghimpun terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketuanya dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para sahabat lainnya sebagai anggota. Kemudian setelah dikumpulkan, dijadikan mushaf kemudian disimpan di rimahnya Abu Bakar.
Menurut tim yang dibentuk oleh Departemen Agama Republik Indonesia (1985; 84-85), pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah tauhid, ibadah, jalan kebahagiaan dinia-akhirat, serta riwayat dan cerita tentang sejarah orang-orang terdahulu.
Dilihat dari segi jelas-tidaknya, para ulama mengelompokkan ayat-ayat Al-Quran kepada dua bagian: ayat-ayat yang cukup jelas (muhkamat), dan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut yang disebut ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam memahami Al-Qur’an, para ulama memerlukan perangkat lain untuk memudahkannya yaitu dengan ‘ulum al-Qur’an dan ilmu tafsir, lebih-lebih dari sebagian ayat ada pula yang masih bersifat umum atau global.
Secara bahasa, tafsir berarti penjelasan dan keterangan (Muhammad Husaeni al-Dzahabi, 1976: 13). Di samping itu, ia pun berasal dari wazan taf’il dari kata fassara yang berarti menerangkan , membuka dan menjelaskan makna yang ka’qul. (Manna’ al-Qatan, 1981: 227).
Secara istilah, ilmu tafsir, menurut Abu Hayan, ialah ilmu yang membahas cara melafalkan lafad-lafad Al-Qur’an serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang zhahir sebatas kemampuan manusia. Tafsir berfungsi menjelaskan segala yang disyari’atkan oleh Allah kepada manusia untuk ditaati dan dilaksanakan. (Abd. al-Hayyi al-Farmawi, 1977: 16)
Melihat posisi tafsir di samping Al-Qur’an, maka tidak semua orang dapat menafsirkan Al-Quran sekehendaknya. Ada beberapa persayaratan yang harus dimiliki oleh seorang muslim agar dapat menafsirkan Al-Qur’an yaitu:
Mengetahui dan memahami bahasa Arab dengan segala isinya, mengetahui ilmu sebab-sebab turun (asbab al-nuzul), mengetahui qira’ah, mengetahui ilmu tauhid, mengetahui ilmu nasikh dan mansukh, dan mengetahui hadits-hadits nabi. (kafrawi Ridwan dkk., 1994: 30).
Quraish Shihab (1995; 71-72) membagi periode tafsir menjadi dua bagian. pertama, periode nabi, sahabat dan tabi’in sampai kira-kira tahun 150 H. Kelompok tafsir periode ini disebut tafsir al-ma’tsar. Corak tafsir ini bersumber pada penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabi’in.
Para ahli tafsir pada zaman sahabat yang terkenal diantaranya al-Khulafa al-Rasyidin yang empat, Ibnu Mas’ud, Abd Allah bin Abbas (60 H), Ubay bin Ka’ab (19 H). Zait bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ry, dan Abdul Allah bin Zubair. Diantara mereka yang paling terkenal ialah Abd Allah bin Abbas.
Kedua, periode ketika hadist-hadist Rasul Allah telah beredar luas dan berkembang hadits-hadist palsu di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum terjadi sebelumnya.
Corak tafsir yang muncul pada periode kedua diantaranya sebagai berikut.
- Corak kebahasaan, artinya Al-Qur’an ditafsirkan melalui pendekatan gaya dan keindahan bahasa, seperti tafsir al-kasysyaf yang ditulis oleh Zamaksyari.
- Corak tafsir yang bahasanya menitikberatkan pada kisah-kisah umat terdahulu, seperti yang ditulis oleh al-Tsalabi, ‘Alaudin bin Muhammad al-Bagdadi.
- Corak fiqih dan hukum, seperti tafsir jami’ al-Qur’an, ahkam al-Qur’an, dan Nail al-Maram yang masing-masing ditulis oleh al-Qurtubhi, Ibnu ‘Arabi dan al-Jashash, dan Hasan Shidiq Khan.
- Corak tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah, seperti tafsir Mafatih al-Ghaib karya Imam al-Razi (w. 610 H).
- Corak tafsir yang menitikberatkan pada isyarat ayat yang berhubungan dengan tasawuf, seperti tafsir yang ditulis oleh Abu Muhammad Sahl bin Abdul Allah al-Tsauri.
- Tafsir corak gharib (yang jarang dipakai dalam keseharian), seperti yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, yaitu Mu’jam Garib al-Qur’an.
Di samping corak tafsir di atas, M. Quraish Shihab (1995; 72-73) memasukkan tafsir corak yang lain, yaitu tafsir bercorak filsafat dan teologi, tafsir dengan penafsiran ilmiah, tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan, tafsir tematik (maudlu’i), dan tafsir ilmi. Dalam periodr kedua ini lahir pula tafsir dari kalangan Muktazilah dan Syi’ah. Tafsir dari kalangan Muktazilah diantaranya ialah tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata’in karya Abd al-Qasim al-Thahir, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa al-Uyun al-Aqwal fi wujud al-Ta’wil karya Abu al-Qasim Muhammad bin Umar al-Zamaksyari.
Departemen Agama Republik Indonesia masih menambah satu periode lagi mengenai perkembangan tafsir, yaitu periode ketiga yang disebut Periode Baru yang dimulai abad ke-9 M. Dalam sejarah perkembangan pemikiran umat islam, periode ini dikenal dengan Periode Kebangkitan Kembali. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh pembaru seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
Kelahiran para pembaru berpengaruh terhadap karya tafsir mereka. Tafsir yang ditulis pada periode ini diantaranya al-Manar yang mulanya ditulis oleh Muhammad Abduh lalu diselesaikan oleh muridnya, Rasyi Ridha, tafsir Mahasin al-Ta’wil karya Jamal al-Din al-Qasimi, dan tafsir jawahir karya Thanthawi Jauhari..Wallahu’alam
Ringkasan dari buku Metodologi Studi Islam, karya Drs. Atang Abd. Hakim, MA., Dr. Jaih Mubarok, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset, cet. x, 2008), 27-39
Ditulis oleh teman seperjuangan:
Hamzah hafidzohullahu ta'ala